Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan.
Tiga tahapan komunikasi:
1. Tahap Metatheoricritical
Tahap ini mempunyai beberapa pengertian mendasar, yaitu: berubah dalam posisi (chaged in position); berada diseberang, diluar, atau melebihi (beyond); diluar pengertian dan pengalaman manusia (trancending); dan bersifat lebih tinggi (higher).
2. Tahap Hipotetikal
Tahap ini merupakan tahap teori yang menampakkan gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan.
3. Tahap Deskriptif
Tahap deskriptif meliputi pernyataan-pernyataan aktual kegiatan dan penemuan-penemuan yang berkaitan dengannya.
Komunikasi menjadi sebuah seni, membutuhkan rasa dan tingkat keilmuan yang tinggi. Dalam berkomunikasi tidak sembarang mengucap, mendengar dan yang menghasilkan bunyi. Jika salah bicara, maka orang yang kita ajak bicara bisa sensitif dan bisa menjadi masalah.
Dalam berkomunikasi ada etika seperti dalam bahasa inggris, yaitu 5W+1H
1. Who (siapa)
Mengetahui siapa yang diajak bicara, seperti pandangan mata agar kita menghargai lawan bicara.
2. What (apa)
Lawan bicara harus tau apa yang sedang dibicarakan, karena jika tidak
mengetahui apa yang dibicarakan pasti membuat kita merasa jengkel.
3. Where (dimana)
Berkomunikasi harus tau tempat, jika saja berbicara pendapat tentang
sesuatu yang tidak disukai, maka bisa saja orang sekitar kita merasa
tidak suka dengan pendapat kita.
4. When (kapan)
Tidak mudah untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berkomunikasi.
Misalnya bertamu ke tempat orang yang penting, tidak mungkin kan saat
shubuh berkumandang??
5. Why (mengapa)
Pertanyaan ini agar fokus dengan tujuan pembicaraan.
6. How (bagaimana)
Cara kita berkomunikasi dengan penyampaian yang jelas. Jika kita salah
penyampaian, jadi salah juga kita dalam beretika komunikasi.
Jalannya komunikasi memerlukan suatu proses. Proses tersebut biasanya
diandaikan ada begitu saja tanpa disadari sebagai suatu proses yang
perlu diabstraksikan dan diselidiki oleh komunikator dan komunikan.
Setidaknya ada dua perspektif tentang proses komunikasi. Pertama, proses
komunikasi dalam perspektif psikologis. Dalam perspektif ini komunikasi
terjadi pada diri komunikator dan komunikan, yang menunjukkan
terjadinya suatu proses komunikasi (isi pesan berupa pikiran dan lambang
umumnya bahasa). Proses ‘mengemas’ atau ‘membungkus’ pikiran dengan
bahasa yang dilakukan komunikator, yang dinamakan ‘encoding’. Sedangkan proses dalam diri komunikan disebut ‘decoding’
(seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan). Kedua, proses
komunikasi dalam perpektf mekanistis. Proses ini berlangsung ketika
komunikator mengoper atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan, atau
dengan tangan kalau tulisan. Penangkapan pesan tersebut dapat dilakukan
dengan indera telinga atau indera mata, atau indera-indera lainnya. Ada
kalanya komunikasi tersebar dalam jumlah relatif banyak, sehingga untuk
menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, dalam situasi ini
dinamakan komunikasi massa.
Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi. Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu:
1. Aksi Komunikasi
Aksi komunikasi merupakan dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik yang diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.
2. Sarana
Pada tingkat sarana, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993:129). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan kasar tanpa bisa membiarkan persaingan kasar tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.
3. Tujuan
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.
Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi. Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu:
1. Aksi Komunikasi
Aksi komunikasi merupakan dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik yang diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.
2. Sarana
Pada tingkat sarana, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993:129). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan kasar tanpa bisa membiarkan persaingan kasar tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.
3. Tujuan
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar