Jumat, 13 April 2012

Anarkisme

Taun terbit           : Selasa, 21 Februari 2012
Penulis                : Prof Bambang Setiaji, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tema                   : Anarkisme
Judul                   : Anarkisme dan Liberalisme

Anarkisme dan Liberalisme

Apakah yang menghubungkan kemelut Front Pembela Islam (FPI), kekerasan di Freeport, Mesuji, dan Sape, money politic di Partai Demokrat yang sebenarnya juga terjadi di setiap partai, serta korupsi yang tidak jera-jeranya? Lalu apakah benang merah antara kesemuaanya itu dengan kepemimpinan transaksional yang tidak bertanggung jawab dan berorientasi pribadi, budaya hedonis yang ditampakkan generasi muda, dan kelompok yang berebut untuk menjadi keamanan swasta dan bisnis-bisnis sekitar ini? Yang menghubungkan daftar panjang tersebut adalah kehidupan liberal yang diperkenalkan sejak reformasi. Kebebasan kita melampaui guru-guru kita diBarat katakanlah Amerika sebagai guru liberalisme.

Kegagalan para pengusung demokrasi sejak reformasi adalah membiarkan demokrasi tanpa batas dalam waktu yang lama 12 ahun membuat rakyat tidak sadar. Demokrasi semacam ini tidak ditemukan bahkan dinegara asalnya. Lihatlah dalam bidang politik dimana ikatan koalisi diliputi saling tikam, oposisi yang tidak objekttif, serta tidak terdapatnya kepemimpinan yang efektif. Tujuan politik luhur untuk menyejahterahkan rakyat yang sebetulnya bisa melanggengkan kekuasaan dikalahkan oleh tujuan melestarikan kekuasaan belaka sebagaimana dapat dikaitkannya kasus Nazaruddin, Anggie, dan kaitan-kaitanya. Pola atau fenomena ini sebenarnya tidak khusus, tapi merupakan pola umum.

Kebebasan yang sangat hedonistis dalam bidang lifestyle yang umumnya terjadi dinegara bebas meresahkan masyarakat yang ingin mempertahankan jati diri bangsa dan kelompok agama. Pengusung demokrasi tidak pernah menentang ini semua. Padahal masalah ini menakutkan mayoritas komunitas bangsa yang memandang anarkisme dan fundamentalis demokrasi sebagai dua ekstrem, pada satu titik anarkisme dan liberalisme tanpa batasa adalah sama. Arah demokrasi seperti ini sudah benar-benar menyimpang dari impian para founding fathers sebagaimana dibayangkan bentuknya dalam UUD 1945 sebelum amandemen.

Para penyeru untuk kembali kembali ke UUD 1945 buakn tidak beralasan, kebebasan kita belum pernah ditemukan dalam sejarah negara bebas sampai-samai tanpa arah. Para penyeru itu mungkin dapat dikaitkan dengan politisi PDIP dan sekelompok independen yang kini aktif dikampus-kampus. Menyebut salah satunya walaupun tidak saling berkaitan adalah prof Sofya Effendy, mantan rekor UGM, sebagai ilmuawan, Jendral Saurip Kadi dari militer, sebarisa budayawan seperti Pong Harjatmo, sekelompok ekonom yang paling keras almarhum Mubyarto, serta murid pelanjutanna, Dr Revrisond Baswir.

Para ekonom oposan diwakili oleh yang paling konsisten mantan menteri keuangan Dr Rizal Ramli da Dr Hendri Saparini. Para ekonom yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Syariah, di UI Prof Mustofa Edwin, di BI Muliaman Hadad, di Universitas Trisakti almarhum Prof Sofyan Safri Harahap, di UIN Jakarta Dr Agustianto, di UGM Prof Bambang Sudibyo dan Dr Anggito Abimanyu. Kesemuanya secara pribadi dan intelektual mendukung ekonomi dan perbankan syariah. Hal tersebut merupakan titik-titik pencarian perbatasan dari negara super bebas khususnya yang terwujud dalam demokrasi politik dan ekonomi dewasa ini.

Kebablasan 
            Begitu banyak contoh bahwa liberalisme kia yang kebablasan. Dalam bidang keuangan negara misalnya, ciri dari penganut fundamentalisme pasar adalah terlihat dari pembagian kue APBN denga diutamakannya sektor bisnis besar. Sektor yang terkait politisi dan sekttor yang menguntungkan birokrasi itu sendiri serta tentu saja kebalikannya diabaikannya kebutuhan rakyat. Pada saat anggaran negara menyentuh Rp 1.300 triliun, anggaran langsung untuk rakyat belum dapat diandalkan. Dinegara-negara yang mapan demokrasinya bahkan anggaran pensiun kesehatan, sekolah, dan program sosial justru sudah terlalu besar sehingga membuat persoalan tersendiri yaitu membengkaknya utang. Namun utang mereka sangat legitimate karena bertujuan untuk kebaikan kepada rakyat.
            UUD 1945 sebenarnya tidak didesain sebagai negara sangat bebas seperti diemukan sekarang. Kebebsan ini juga disalahartikan oleh sekelompok orang, SLM yang mungkin dibantuasing. Karena demokrasi kebebasan ekonomi, ratifikasi hukum perlindungan modal, dan hak cipta dari berbagai temuan negara maju disertai keterbukaan terhadap modal asing sangat menguntungkan pihak asing untuk menguasai bisnis-bisnis utama. Melalui kolaborasi bisnis, dan politik kebebasan arah Indonesia menjadi bumper yang sangat penting untuk kemakmura negara inti.
            Kebebasan dan aparat yang lemah juga ditunggangi kelompok bisnis bahwa tanah yang bergerak dibidang bisnis hiburan dan menyerempet bisnis bawag tanah. Sebabnya adalah negara menjadi terlalu bebas dan menjadi sangat dekat dengan anarkisme itu sendiri. Negara menjadi kehilangan legitimasi untuk menghalangi anarkisme yang lahir pada awal reformasi sebagai keseimbangan antara kelompok yaitu lahirnya berbagai laskar baik yang on ground maupun under ground.

            Bagaimanapun biaya reformasi ini bagaimanapun lebih murah dibanding misalnya kemelut di Timur Tengah. Kendati demikian tidak berarti, bahwa pembelokan kepada negara superbebas legitimate, seperti anarkisme juga tidak legitimate, karena menggangu proses pembentukan masyarakat sipil. Juga perlu dicatat bahwa jati diri lebih peting dari sekedar kemajuan tanpa identitas.
             Anarkisme dalam arti luas adalah dilanggarnya konsensus. Untuk negara Indonesia konsensus pada awal kemerdekaan adalah dibentuknya negara bebas terbatas dimana Tuhan dan agama menjadi pengarah negara sebagaimana konsensus negara islam dan negara nasional. Sementara itu terdapat konsensus ekonomin liberal dan program kesejahteraan, peran swasta dan negara, antara federalisme dan kekuasaan pusat, serta konsensus-konsensus lain. Upaya menunggangi kebebasan dan demokrasi kkeluar dari konsensus sungguh tidak menguntungkan misalnya, munculnya wacana kembali kepada UUD 45 sebelum amandemen karena kesalahan pengurus demokratisasi yang salah arah.